Jakarta, Indonesia – Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini angkat suara perihal beredarnya draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024. Dalam draft itu, tertulis kebutuhan anggaran alpahankam hingga 2044 mencapai US$ 124,995 miliar atau setara Rp 1.760 triliun.
“Menurut saya rencana anggaran pertahanan dan keamanan sampai Rp 1.700 triliun rupiah sudah di luar kepantasan,” ujar Didik dalam keterangan tertulis yang diterima Indonesia, Kamis (3/6/2021).
Menurut dia, momentum rencana anggaran itu keliru karena Indonesia sedang berada di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Rencana tersebut pun tidak laik karena APBN sedang sekarang. Belum lagi ditambah dengan syarat utang yang tidak masuk akal.
“Pandemi Covid-19 ini meruntuhkan banyak pilar-pilar sosial kemasyarakatan dan sangat memprihatinkan sehingga lebih memerlukan dukungan dibandingkan dengan melipatgandakan anggaran untuk pertahanan dan keamanan,” kata Didik.
Rektor Universitas Paramadina itu menuturkan tingkat kemiskinan dan penganguran terbuka meningkat akibat pandemi Covid-19. Tidak ketinggalan pengangguran terselubung.
“Dalam keadaan seperti ini tidak pantas anggaran yang besar tersebut diajukan dalam jumlah yang sangat besar dan menguras anggaran sosial, pendidikan, kesehatan, daerah dan sebagainya. Jika anggaran ini disetujui Komisi I, maka wakil rakyat pun tidak tahu diri dan kurang mengukur kepantasan dengan kondisi prihatin pada saat ini,” ujar Didik.
“Sebagai catatan sampai tahun 2022, DPR tidak memiliki hak budget lagi sesuai perpu dan UU sehingga tidak bisa mengubah angka satu rupiah pun dari yang sudah diusulkan pemerintah. Ini masalah salah kaprah lain yang melanggar UUD di mana hak budget DPR diamputasi,” lanjutnya.
Baca:Prabowo & Urgensi Modernisasi Alutsista RI |
Lebih lanjut, Didik menuturkan rencana anggaran itu juga kurang memperhatikan kondisi APBN yang sekarat dengan utang. Total utang APBN sudah mencapai Rp 6.361 triliun. Kemudian utang BUMN perbankan dan nonperbankan yang akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp 2.143 triliun.
“Total utang publik sekarang mencapai Rp 8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp 10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” ujar Didik.
Ia menganalisis, pada tahun 2019, utang yang diputuskan di dalam APBN mencapai Rp 921,5 triliun. Keperluan utang itu untuk membayar bunga, pokok utang, dan sisanya untuk menambal kebutuhan defisit.
Tahun 2020, menurut Didik, rencana utang ingin ditekan menjadi Rp 651,1 triliun rupiah agar wajah APBN kelihatan apik. Tetapi krisis dan pandemi kemudian mengharuskan utang tahun 2020 dinaikkan pesat menjadi Rp 1.226 triliun.
“Perubahan-perubahan seperti ini mencerminkan perilaku labil dan semau gue dari penguasa, obrak-abrik merusak APBN, dan cerminan DPR yang telat mikir dan lemah kuasa,” kata Didik.
Sebagai akibatnya, lanjut dia, setiap tahun kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga plus cicilan utang luar negeri pemerintah (tidak termasuk swasta) sudah sangat tingi dan di luar kewajaran, yakni mencapai Rp 772 triliun pada tahun 2020. Pembayaran utang dari kantong APBN ini ke depan bisa bergerak cepat menuju Rp 1.000 triliun dalam waktu tidak terlalu lama.
“Saya melihat kasihan APBN kita diobrak-abrik oleh penguasa sehingga wajah dan strukturnya rusak berat. Tidak ada kepemimpinan ekonomi (economic leadership) pada saat ini sehingga bisa berbuat apa saja terhadap APBN. Ekonomi kita menanggung beban berat karena anggaran kondisinya berat. Kemungkinan terjadinya krisis bisa lewat pintu APBN ini,” ujar Didik.
“Saya hanya mengingatkan, gabungan dari masalah APBN ini ditambah kepercayaan publik merosot, maka krisis bisa terjadi. Karena itu, kemuingkinan krisis harus dicegah dengan menguatkan kembali APBN agar hati-hati dalam perencanaannya dan mengembalikan lagi pertumbuhan di atas tingkat moderat,” lanjutnya.
[Gambas:Video ]
(miq/miq)